Rabu, 24 Maret 2010

PENDIDIKAN PESANTREN

PEMBAHASAN
1. Sejarah Pondok Pesantren dan Perkembangannya.
Istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihkan. Menurut Manfred Ziemek, kata pondok bedrasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz, pengertian pesantren di turunkan dari bahasa India shastri artinya ilmuan hindu yang pandai menulis, maksudnya, pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis.
Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model pesantren di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman wali songo. Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maulana Maghribi. Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang.
Pada awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat.
Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.
Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak. Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan. Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.

2. Elemen-elemen pesantren
Hampir dapat di pastikan, lahirnya suatu pesantren berawal dari beberapa elemen dasar yang selalu ada di dalamnya. Ada lima elemen pesantren, antara satu dengan lainnya tidak dapat di pisahkan. Kelima elemen tersebut meliputi kyai,santri, pondok, masjid, dan pengajaran kitab kuning
a. Kyai
Kyai atau pengasuh pndok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi
suatu pesantren. Rata-rata pesantren yang berkembang di jawa dan madura sosok kyai begitu sangat berpengaruh, kharismatik dan berwibawa, sehingga amat di segani oleh masayrakat di lingkungan pesantren. Di samping itu kyai pondok pesantren sangat biasanya juga sekaligus sebagai penggagas dan pendiri dari pesantren yang bersankutan. Oleh karenanya, sangat wajar jika pertumbuhannya, pesantren sangat bergantung pada peran seorang kyai.
Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam islam, sering kali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, teritama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan ke khususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan symbol kealiman yaitu kopiah dan surban. Masyrakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalanpersoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab yang ia ajarkan, ia akan semakin di kagumi. Ia juga di harapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang yang dating meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga di harapkan untuk rendah hati, menhormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan dan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.
b. Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama belajardan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih di kenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siwa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya di kelilingi dengan tembok untuk dapat mengwasi keluar dan masuknya para santri sesuai peraturan yang berlaku pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah islam di Negara-negara lain. Bahkan system asrama ini pula membedakan pesantren dengan system pendidikan suraudi daerah minangkabau.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri. Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang islam menari santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampong halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semmua pesantren berada di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung santri-santri; dengan demikian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagi bapaknya sendiri, sedangkan menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa di lindungi. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu dari pihak para sntri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyainya memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.
System pondok bukan saja merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang . Meskipun keadaan pondok sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda dari pedesaan dan baru pertama meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan social yang baru.

c. Masjid
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat di pisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam sembahyang lima waktu, khutbah dan sholat jum’ah, dan mengajarkan kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manivestasi universalisme dari sitem pendidikan tradisional. Dengan kata lain kesinambungan system islam yang berpusat pada masjid sejak masjid al Qubba didirikan dekat madinah pada masa Nabi Muhammad saw tetap terpancar dalam system pesantren. Sejak zaman nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan islam. Dimana puun kaum muslimin berada, mereka selalu menggunaka masjid sebagi tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktifitas administrasi dan cultural. Lembaga-lembaga peasntren jawa memelihara terus tradisi ini, para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain.
Seorang kyai yang ingin megembangkan sebuah pesantren, biasanya pertamapertama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren.

d. Santri.
Menurut pengertian yang dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kyai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab islam klasik. Oleh karena itu santri adalah elemen penting dalam suatu lembaga pesantren. Walaupun demikian, menurut tradisi psantren, terdapat dua kelompok santri:
1. Santri mukim yaitu murid-murid yangn berasal dari daerah jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang menetap paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya mdrupakan suatu kelompgk tersendiri yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari;mereka juga memikul tanggung jawab mengajar santRi-santri m5da tentang kitab-kitab dasar dan menengah.
2. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren; yang biasanya tidak menetap dalam pesantren (nglajo) dari rumahnya sendiri Biasanya perbedaan pesantren kecil dan pesantren besar dapat dilihat d!ri komposisi santri kalong. Sebuah besar sebuah pesantren, akan semakin besar jumlah mukimnya. Dengan kata lain, pesantren kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong dari pada santri mukim. Oleh karenanya, hanya seorang santri yang memiliki kesungguhan dan kecerdasan saja yang di beri kesempatan untuk belajar di sebuah pesantren besar. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia pesantren. Santri kelana adalah santri yang bepindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya, hanya untuk memperdalam ilmu agama. Santri kelana ini akan selalu berambisi untuk memiliki ilmu dan keahlian tertentu dari kyai yang di jadikan tempat belajar atau di jadikan gurunya. Hampir semua kyai atau ulama’ di jawa yang memimpin sebuah pesantren besar, memperdalam pengetahuan dan memperluas penguasaan ilmu agamanya dengan cara mengembara dari pesantren ke pesantren (berkelana).

e. Pengajaran Kitab Kuning
Berdasarkan catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klsik, khususnya karangan-karangan madzab syafi’iyah. Pengajaran kitab kuning besbahasa Arab $an tanpa harakatatau sering disebut kitab gundul merupakan satu-satunya method yang secara formal `i ajarkaj dalam pesantren di Indonesia. Pada umumnya, para santri datang dari jauh dari kampung halaman dengan tujuan ingin memperdalam kitab-kitab klasik tersebut, baik kita` Ushul Fiqih, Fiqih, Kitab TafSir, Hadits, dan lain sebagainya. Para santri juga biasanya mengembangkan keahlian dalam berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf), guna menggali makna dan tafsir di balik teks-teks klasik tersebut.
Ada beberapa tipe pondok pesantren misalnya, pondok pesantren salaf, kholaf, modern, pondok takhassus al-Qur’an. Boleh jadi lembaga, lembaga pondok pesantren mempunyai dasar-dasar ideology keagamaan yang sama dengan pondok pesantren yang lain, namun kedudukan masing-masing pondok pesantren yang bersifat personal dan sangat tergantung pada kualitas keilmuan yang dimiliki seorang kyai. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan ke dalam delapan kelompok yaitu: 1). Nahwu (sintaksis) dan saraf (morfologi), 2)fiqih; 3)ushul fiqih; 4)hadits; 5) tafsir; 6)tauhid; 7) tasawuf dan etika; 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf. Agar bisa menerjemahkan dan memberikan pandangan tentang isi dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun santri harus menguasai tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang pengetahuan agama islam yang lain.

3. Ciri-Ciri Pondok Pesantren
Mukti Ali (1980: 17-18) menyatakan bahwa ciri-ciri pendok pesantren ialah:
a. Ada hubungan yang akrab antara santri dengan kyai-kyai.
b. Tunduknya santri kepada kyai.
c. Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam pondok pesantren.
d. Semangat menolong diri sendiri amat terasa dan nyata di kalangan santri pondok pesantren.
e. Jiwa tolong menolong dan persaudaraan sangat mewarnai pegaulan pondok pesantren.
f. Pendidikan disiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren itu.
g. Berani menderita untuk mencapai tujuan tertentu adalah salah satu pendidikan yang diperoleh santri.
h. Kehidupan agama yang baik.

4. Tujuan Pendidikan Pesantren
Sesuai dengan latar belakang sejarah pesantren, dapat dilihat tujuan utama didirikannya suatu pesantren adalah untuk mendalami ilmu-ilmu agama (tauhid, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, akhlak, tasawuf, bahasa Ara, dan lain-lain). Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam non klasikal, yaitu seorang kyai mengajarkan agama islam kepada santri-santri berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama Arab pada abad pertengahan. Para santri biasanya tinggal dalam pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Kyai sebagai seorang ahli agama Islam, mengajarkan ilmunya kepada santri dan biasanya sekaligus pemimpin dan pemilik pesantren tersebut.
Berdasarkan tujuan pendiriannya, pesantren hadir dilandasi sekurang-kurangya oleh dua alasan:
Pertama, pesantren dilahirkan untuk memberi respon terhadap situasi dan kondisi social suatu masyrakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, melalui transformasi nilai yang ditawarkan (amar ma’ruf dan nahy munkar). Kehadirannya dengan demikian dapat disebut dengan agen perubahan (agent of social changes) yang selalu melakukan kerja-kerja pembebasan (liberation) pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, dan kemiskinan ekonomi.
Kedua, salah satu tujuan didirikannya pesantren adalah untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang unversalitas kepribadian Islam kesulur pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi social masyarakat.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam di tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam mengembangkan kepribadian yang muhsin tidak hanya sekedar Muslim (Mastuhu, 1994:56).

5. System Pendidikan dan Pengajaran Pondok Pesantren
Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren ciri-ciri pondok pesantren itu sendiri. Dalam melaksanakan proses pendidikan sebagian besar pesantren di Indonesia pasda umumnya menggunakan beberapa system pendidikan dan pengajaran yang bersifat tradisional. System tradisional adalah system yang berangkat dari pola pengajaran yang sangat sederhana, yakni pola pengajaran sorogan, bandongan, wetonan, dan musyawarah dalam mengkaji kitab-kitab agaman yang ditulis oleh para ulama zaman abad pertengahan dan kitab-kitab itu dikenal dengan istilah ”Kittab kuning”.
Pertama, sorogan; system pengajaran dengan pola sorogan dilaksanakan dengan jalan santri yang biasanya pandai menyorogkan sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca di hadapan kyai tersebut. Di pesantren besar, sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasa terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri yang diharapkan dikemudian hari menjadi orang alim (Ghazali, 2002:29). Dalam system pengajaran model ini santri harus betul-betul menguasai ilmu yang dipelajarinya sebelum mereka dinyatakan lulus, karena system pengajaran ini dipantau langsung oleh kyai. Dalam perkembangan selanjutnya system pengajaran ini sudah jarang diterapkan karena memakan waktu yang lama.
Kedua, wetonan; system pengajaran dengan jalan wetonan ini dilaksanakan dengan jalan kyai membaca suatu kitab dalam waktu terentu dan santri dengan membaca kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kyai. Dalam system pengajaran seperti ini tidak dikenal dengan adanya absensi. Santri boleh dating, boleh tidak, dan juga tidak ada ujian (Ghazali, 2002:29). System ini biasanya dilaksankan dengan belajar secara kelompok yang diikuti oleh para santri. Mekanismenya, seluruh santri mendengarkan kitab yang dibacakan oleh kyai, setelah itu kyai akan menjelaskan makna yang terkandung di dalam kitab yang telah dibacakannya, santri tidak mempunyai hak untuk bertanya, terlepas apakah santri-santri itu mengerti atau tidak terhadap apa yang telah disampaikan kyai. Adapun system kelompok-kelompok kelas yang ada dalam system pengajaran ini, dikenal dengan system halaqah.
Ketiga, bandongan; yakni seorang santri tidak harus menunjukan bahwa ia mengerti terhadap pelajaran yang sedang dihadapi atau disampaikan, para kyai biasanya membaca dan menterjemahkan kata-kata yang mudah (Dhofer, 1986:30).

6. System Pendidikkan dan Pengajaran yang Bersifat Modern
Dalam perkembangannya, pondok pesantren tidaklah semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional tumbuh dengan ketiga pengajaran di atas, melainkan dilakukan suatu inovasi dalam pengembangan suatu system. Dalam perkembangannya, ada tiga system yang diterapkan pada pondok pesantren yaitu pertama, system klasikal; adalah dengan pendirian sekolah-sekolah baik kelompok yang mengelola pengajaran agama maupun ilmuyang dimasukkan dalam kategori umum dalam arti termasuk di dalam ilmu-ilmu kauni yang berbeda dengan agama yang sifatnya tauqifi (Ghazali, 2002:30).
Kedua, system kursus-kursus; pola pengajaran yang detempuh melalui kursus ini ditekankan pada pengembangan ketrampilan tangan yang menjurus kepada terbinanya kemampuan psikomotorik seperti kursus menjahit, mengetik, computer dan sablon. Pengajarn seperti ini mengarah kepada terbentuknya santri-santri yang mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima dari kyai melalui pengajran sorogan dan wetonan.
Ketiga, system pelatihan; disamping system pengajaran klasikal dan kursus-kursus, di pesantren juga dilaksakan system pelatihan yang menekankan pada kemampuan psikomotorik. Pola pelatihan yang dikembangkan adalah termasuk menumbuhkan kemampuan praktis seperti pelatihan pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi, dan kerajinan-kerajinan yang mendukung terciptanya kemandirian integrative.

7. Kurikulum Pendidikan Pesantren
Menurut Nurcholis Madjid dalam aspek kurikulum terlihat pelajaran agama masih dominan di lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya khusus yang disajikan dalam berbahasa Arab. Mata pelajaran meliputi fiqh (paling utama), aqaid, nahwu sharaf (juga mendapat kedudukan yang penting), dan lain-lain. Sedang tasawuf dan semangat serta rasa agama yang merupakan inti dari kurikulum “keagamaan” cenderung terabaikan (Yasmadi, 2002:79). Mayoritas di pesantren hanya terbatas pada ajaran mazhab Syafi’I dan kurang mengakomodir pendapat mazhab lain.
Seharusnya pesantren menjadi lembaga pendidikan yang kompetibel dan sebagai pembentuk produk ulama yang intelektual dan menggunakan penguatan pendidikan dasar (basic education) sesuai dengan perkembangan zaman mampu mengadaptasikan dirinya dengan alasan global. Maka sudah saatnya pesantren mengadopsi hal-hal baru (khalifayah) namun tetap mempertahankan nilai-nilai otentik kepesantrennan (salafiyahi), dan kiranya tidak salah jika nantinya terjadi proses konvergensi antara paradigm-paradigma pendidikan umum indonesia dengan system tradisional yang merupakan wajah asli dari paradigm pendidikan pesantren.

8. Metode Pendidikan Pesantren
Metode pembelajaran di pondok pesantren dalampelaksanaanya masih ada yang orientasi pendidikannya bersifat tradisional (Yasmadi, 2002:79), yang menekankan kepada buku ajaran dasar yang pada penerapannya/perkembangannya menyempit hanya pada bidang fiqih. Model ini memang dirasa memang cukup dominan ketimbang wacana ushul fiqih, logika (mantiq), tafsir, hadits Nabi, filsafat maupun muqaranah al-mazhahib (perbandingan mazhab).
Solusinya ialah hendaknya system pengajaran yang selama ini induksi diganti dengan deduksi, yakni pengembangan kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar dan diimplementasikan dalam kajian particular, dikembangkan dengan proses penalaran, pemikiran, kreativitasndan dinamika dalam memahami islam secara lebih kontekstual ketimbang sekedar pemahaman doktrial.

9. Manajemen Pendidikan Pesantren
Manjemen pendidikan yang selama ini terkesan ala kadarnya, tanpa ditata dengan rapid an baik, tidak dan belum ada konsep yang jelas dalam pendidikan. Pesantren dalam hal ini dapat mengantisipasi perkembangan di luar dirinya, dapat bekerja sama denga instansi-instansi luar yang dianggap mampu memberikan kontribusi dan menciptakan nuansa transpormatis, misalnya Departemen Sosial, Departemen Koperasi, Pemerintah Daerah, PKK, Dharma Wanita, departemen Tenafga Kerja dan sebagainya. Hal ini dimaksud sebagai usaha pengembangan sumber daya pesantren dalam pemberdayaannya dan dalam menghadapi tantangan kontemporer yang semakin kompleks.

10. Kelebihan Dan Kekurangan Pesantren
a. Kelebihan
Kelebihan lembaga pendidikan pesantren, cenderung dapat diterima sebagai lembaga pendidikan alternative oleh semua kalangan/golongan. Hal ini dapat kita lihat dari segi kuantitas pesantren yang lebih besar daripada lembaga pendidikan umum, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sejalan denga struktur penyebaran umat. Selain itu juga karena adanya tradisi keagamaan dan kepemimpinan yang merupakan potensi nasional untuk pembangunan (keimanan dan ketaqwaan) yang menjdi tujuan pendidikan nasional dan terbuka untuk pembaruan.
Pesantren mempunyai nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme, maupun patriotisme. Tradisi pesantren tidak ada pembatasan para anak didik. Dalam kenyataannya para kyai tidak pernah membatasi tidak pernah membatasi para santrinya dari suku, ras, bahkan agama sekalipun. Denga tidak mengenal strata social, level masyarakat dan perbedaan lainnya, sehingga biaya melangsungkan pendidikan di pesantren relative terjangkau.

b. Kelemahan
Kelemahan dan kekurangan lembaga pendidikan pesantren ini diantaranya adalah belum mampu mencapai tujuan pendidikannya secara maksima (mencetak kader ulama yang sekaligus memimoin umat dan bangsa), pesantren belum mempunyai sarana dan prasarana yang memadai (fisik, personal dan finansial). Dalam hal ini menurut Nurcholis Majid lemahnya visi dan tujuan pendidikan pesantren disebabkan karena penekanan yang terlalu berlebihan terhadap satu aspek kedisiplinan keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek keilmuan lainnya.
Dengan kata lain, terjadi penyempitan orientasi kurikulum dalam lingkungan pendidikan pesantren (Yasmadi, 2002: 78). Oleh karena itu pesantren terkesan tradisional sehingga tidak menjadi pilihan dalam rangka kemajuan, pilihan lembaga oleh keluarga maupun kelompok dan pesantren yang ada cenderung eksklusif.