A. Sekilas Tentang Filologi
Naskah-naskah klasik sebagai salah satu jenis produk budaya pada masa lampau cukup penting keberadaannya. Penting karena dalam naskah-naskah tersebut terkandung banyak hasil pemikiran pada cendikiawan pendahulu kita yang kini kita warisi. Sehingga dapat di jadikan acuan dan sekaligus pertimbangan dalam menentukan suatu keputusan dalam hidup.
Ada beragam warisan karya klasik ditinjau dari berbagai segi yang umum, yakni (1) naskah-naskah yang berisi teks sejarah, (2) naskah-naskah keagamaan, (3) naskah-naskah sains, dan (4) naskah-naskah kesusastraan. Naskah yang sangat berharga itu banyak yang belum dikenal masyarakat. Kekhawatiran atas kepunahan nasakah itu harus diwaspadai, harus ada yang mencoba mlestarikannya, harus ada yang mengenalkannya dalam bahasa sekarang. Di antaranya melalui Filologi, yaitu cabang ilmu yang bidang kajiannya adalah meneliti naskah-naskah klasik peninggalan masa lalu. Kajian atau studi yang dilakukan dalam filoogi merupakan kajian kritis karena di dalamnya ada proses memilah dan memilih dengan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi.
Penelitian naskah dalam filologi tidak hanya meneliti bentuk fisik naskah tetapi juga sampai kandungan terdalam yang ada di dalamnya. Ada upaya untuk merekonstruksi atau ‘menghadirkan kembali’ ide-ide, pola pikir, atau rumusan-rumusan hikmah kehidupan yang telah dicapai para pendahulu kita. Secara umum, filologi adalah mempelajari naskah atau teks klasik dengan tujuan mengungkapkan hasil pemikiran, pengalaman, dan budaya yang hidup pada masa lalu.
Adapun pada kesempatan kali ini kita akan mencoba mengangkat masalah dalam masyarakat dari kacamata filologi yang berkaitan dengan teks-teks keagamaan yaitu pelafalan ataupun penulisan lafadz ”sayyidina” untuk Nabi Muhammad Saw. yang banyak terdapat dalam teks-teks hadis maupun syair-syair arab.
B. Arti Perkataan “Sayyidina”
“Sayyid” (السيد) adalah bahasa arab yang asalnya adalah (ساد - يسود – سيادة) yang artinya adalah:mulia, agung, dan jika disambung dengan lafadz قوم maka artinya menjadi pemimpin/penghulu[1]. Kemudian lafadz “sayyidina (سيدنا)” berarti “pemimpin atau penghulu kita”. Penghulu adalah orang yang dimuliakan dalam suatu kelompok manusia dan orang yang dijadikan ikutan atau pemimpin dalam segala urusan. Kalau kita katakan bahwa Nabi Muhammad Saw. “penghulu kita”, maka itu berarti bahwa beliau adalah orang yang kita muliakan, yang kita hormati, yang kita junjung tinggi, dan yang kita jadikan pimpinan dan ikutan lahir bathin, dunia akhirat. Kalau kita ucapkan “Sayyidina Muhammad” maka itu berarti kita memuliakan beliau sebaik-baiknya dan mengangkat derajat beliau setinggi-tingginya, sesuai dengan kedudukan beliau yang sebenarnya. Karena memang seharusnyalah kita menjadikan beliau sebagai pemimpin yang dapat kita harapakan, di suatu hari yang tidak ada satupun yang dapat diharapkan kecuali syafaatnya, yaumul qiyamah.
C. Argumen kelompok yang melafadzkan ”Sayyidina”
Menurut kelompok ini melafadzkan “sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad Saw. dalam shalawat adalah afdhal, yakni lebih baik karena itu berarti memuliakan dan menghormati Nabi Saw. Sebagaimana kalau memanggil seseorang saja biasanya di dahului dengan ”pak, buk, mas atau mbak” masak memanggil manusia paling mulia di dunia dengan langsung menyebut namanya, hal itu dirasa kurang beradab. Diantara beberapa landasan mereka adalah:
1. Firman Allah yang artinya:
Bahwasanya Allah dan Malaikat-malaikatNya shalawat kepada Nabi. Hai sekalian orang mukmin, hendaklah kamu shalawat pula kepada Nabi dan memberi salam sebaik-baiknya kepada beliau.(al – Ahzab : 56)
Sehingga dalam ayat ini dapat diambil logika bahwa Allah SWT, penghuni langit yang tujuh lapis yaitu malaikat yang termasuk didalamnya malaikat yang sepuluh, Jibril, Mikail, Israfil, Izrail dan lain-lain saja semuanya menghormati Nabi Muhammad Saw. dan memohon rahmat untuk beliau, maka sudah selayaknya bagi manusia untuk mengagungkan beliau sebagaimana perintah Allah SWT. Diantara cara untuk memuliakan Nabi adalah dengan membaca “sayyidina” ketika mengucapkan shalawat kepada Nabi Saw.
2. Hadis nabi:
عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم: أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” [2]
Berdasarkan kedua dalil tersebut - dan tentunya masih banyak lagi dalil yang lain - maka mereka menyimpulkan bahwa melafadzkan “sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad Saw. dalam shalawat adalah boleh bahkan sunnah.
D. Argumen kelompok yang tidak melafadzkan “sayyidina”
Adapun menurut kelompok ini tidak membolehkan penambahan lafadz (sayyidina), khususnya di dalam shalat, sebab mereka berpedoman bahwa lafadz bacaan shalat itu harus sesuai dengan petunjuk hadits-hadits nabawi. Bila ada kata (sayyidina) di dalam hadits, harus diikuti. Namun bila tidak ada kata tersebut, tidak boleh ditambahi sendiri. Dalil yang mereka gunakan adalah:
لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ
Artinya:“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”
Namun ada ulama’ yang menganggap bahwa hadis tersebut adalah tersebut hadis maudlu’. Kemudian dalil yang kedua adalah hadis yang diriwayatkan Ka’ab bin Ujroh
ان النبى صلى الله عليه وسلم خرج علينا فقلنا يارسول الله قد علمنا كيف نسلم عليك, فكيف نصلى عليك؟ قال فقولوا: اللهم صلى على محمد و على ال محمد كما صليت على ابراهيم انك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد و على ال محمد كما باركت على ال ابراهيم انك حديد مجيد
Berdasarkan hadis diatas ka’ab ibn ujrah bertanya kepada Rasulullah,”bagaimana cara bershalawat kepada engkau ya Nabiyallah?”, Rasul menjawab: قال فقولوا اللهم صلى على محمد dalam hadis ini Rasul menjawab langsung kata Muhammadin tanpa kata sayyidina. Dengan hadis inilah kelompok yang “anti sayyidina” berkesimpulan bahwa Rasulullah Saw. sendiri tidak mengajarkan untuk mencantumkan sayyidina dalam bersolawat kepada beliau, maka kita harus mengikutinya sebagaimana yang diajarkan oleh beliau melalui hadis tersebut.
KESIMPULAN
Demikianlah, ternyata perbedaan yang terjadi hanyalah berakar dari perbedaan sudut pandang saja, sehingga sangat disayangkan kalau sampai mengarah pada permusuhan dan pertikaian. Sebagaimana sudah maklum bahwa perbedaan pendapat adalah suatu hal yang lumrah, maka sudah menjadi keharusan bagi kita untuk saling menghargai adanya perbedaan tersebut, sehingga kalaupun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat lain tersebut. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah atau bahkan sampai mengkafirkan.
Khusus masalah sholawat ini, yang perlu kita pikirkan adalah sudah seberapa banyak kita bersholawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang katanya akan kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat kelak. Jangan-jangan karena tersibukkan oleh berbagai macam hal, kita sampai lupa bahwa kita mempunyai kewajiban untuk memperbanyak saholawat kepada manusia paling mulia ini. Bagaimana mungkin kita akan mengharapkan syafa’at kepada beliau, sementara kita enggan bersholawat kepadanya. Karena itu untuk mengakhiri makalah ini marilah kita membaca sholwat untuk beliau, ( Allahumma sholly ala sayyidina muhammad / Allahumma sholly ’ala Muhammad )
Wallahu a’lam bishshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar